RAKYATSULBAR.COM – Harvey Moeis menjadi sorotan publik setelah dijatuhi hukuman 6,5 tahun penjara atas keterlibatannya dalam kasus korupsi di PT Timah. Kasus yang melibatkan kerugian negara hingga Rp 300 triliun ini memicu gelombang kritik dari warganet, yang menilai hukuman tersebut terlalu ringan untuk skala kerugian sebesar itu.
Majelis Hakim Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat, Eko Aryanto, mengungkapkan bahwa Harvey terbukti bersalah dalam kasus tersebut. “Total kerugian negara sebesar Rp 300.003.263.938.131,14 (Rp 300 triliun). Dengan demikian unsur yang dapat merugikan negara telah terpenuhi dalam perbuatan tersebut,” jelas Eko saat membacakan vonis di ruang sidang.
Hakim juga merinci kerugian negara yang tercatat dalam kasus ini, yakni:
- Kerugian atas penyewaan alat pelogaman timah yang tak sesuai ketentuan: Rp 2,28 triliun.
- Pembayaran bijih timah dari tambang ilegal: Rp 26,64 triliun.
- Kerusakan lingkungan akibat tambang ilegal: Rp 271,07 triliun.
Total keseluruhan kerugian mencapai Rp 300 triliun. Meski demikian, Harvey hanya dijatuhi hukuman 6,5 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar. Jika denda tidak dibayar, ia akan menjalani tambahan kurungan selama enam bulan.
Vonis tersebut didasarkan pada pelanggaran Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 UU Tipikor, Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dan Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.
Hukuman ini menuai reaksi keras dari masyarakat. Banyak yang mengecam hukuman 6,5 tahun penjara sebagai terlalu ringan, mengingat besarnya kerugian negara.
“Kerugian negara sampai Rp 300 triliun, tapi hukumannya cuma 6 tahun? Ini lelucon hukum. Hukuman harus proporsional terhadap kejahatan!” tulis seorang warganet.
“Jangan sampai nanti dapat remisi karena alasan berperilaku baik. Tolong hukum ditegakkan seadil-adilnya,” timpal warganet lainnya.
Kasus ini menjadi sorotan luas, memunculkan desakan agar sistem peradilan lebih transparan dan hukuman lebih tegas untuk kasus korupsi besar seperti ini. Apakah vonis Harvey akan membuka jalan untuk revisi sistem hukum, atau justru mempertegas ketimpangan yang dirasakan publik?