RAKYATSULBAR.COM – Pegunungan Jayawijaya di Papua telah lama dikenal memiliki salju abadi yang tak pernah meleleh di puncaknya. Namun, dua tahun lagi, kondisinya mungkin akan berbeda.
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Meteorologi Mozes Kilangin, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua Tengah, memperkirakan salju di Puncak Jayawijaya akan hilang pada tahun 2026.
Prakirawan BMKG Stasiun Meteorologi Moses Kilangin Mimika, Reza menyampaikan, menurut hasil penelitian terbaru BMKG Pusat, pada tahun 2022 luasan salju di puncak tersebut mencapai 0,23 kilometer persegi. Angka tersebut menunjukkan penyusutan sekitar dari 0,11 kilometer persegi sampai 0,16 meter persegi.
“Penelitian terbaru menunjukkan bahwa pencairan salju ini semakin signifikan, untuk ketebalan salju yang tersisa hanya empat meter,” ucap Reza, dilansir dari Antara, Selasa (17/12/2024).
Perubahan Iklim Jadi Faktor Utama
Faktor penyebab kemungkinan hilangnya salju di puncak Jayawijaya, selain perubahan iklim, adalah curah hujan yang tinggi. Adapun curah hujan yang tinggi memengaruhi percepatan pencairan salju, penurunan luasa, dan ketebalan salju.
“Dulu embun dan uap air di Puncak Jayawijaya akan membeku menjadi salju, namun sekarang hujan lebih sering turun di Puncak Jayawijaya ini justru mempercepat pencairan es,” kata Reza.
Tidak hanya itu, proses pencairan salju juga disebabkan oleh kombinasi hujan, panas bebatuan, dan perubahan iklim.
“Jadi ada dua faktor utama yakni pencairan dari atas karena hujan dan pencairan dari bawah akibat panas bebatuan dan dampak pencairan salju diprediksi akan dirasakan di pegunungan dan dataran rendah,” jelas Reza.
Berangkat dari prediksi tersebut, ia berharap berbagai pihak peduli akan dampak perubahan iklim. Sebab, habisnya salju di Puncak Jayawijaya ikut berdampak terhadap ekosistem dan kehidupan masyarakat.
Sebagai informasi, Pegunungan Jayawijaya terletak di antara Provinsi Papua Tengah dan Provinsi Papua Pegunungan. Dilansir dari Bobo.grid.id, Pegunungan Jayawijaya memiliki sebutan lain yaitu Carstensz. Pada tahun 1623, pelaut Belanda bernama Jan Carstensz melihat puncak gunung yang bersalju tersebut saat berlayar di pantai selatan Laut Arafura.