RAKYATSULBAR.COM – Industri otomotif Indonesia menghadapi tantangan besar dengan rencana pemerintah untuk memberlakukan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen pada Januari 2025.
Banyak pengamat dan pelaku industri khawatir bahwa kebijakan ini akan memperburuk penjualan mobil yang sudah mengalami perlambatan 15,05 persen secara tahunan, dari 836.128 unit ke 710.406 unit.
“Menimbang kondisi pasar yang melambat, kenaikan PPN menjadi 12 persen tentu akan memberikan dampak signifikan terhadap berbagai sektor, tanpa terkecuali otomotif,” kata Pengamat Otomotif Yannes Martinus Pasaribu kepada media, Selasa (12/11/2024).
“Dampaknya terkhusus pada masyarakat middle income, yang merupakan segmentasi terbesar industri ini,” lanjut dia.
Dilihat dari kelasnya, jenis kendaraan yang cukup rentan terhadap penyesuaian PPN tahun depan ialah Low Cost Green Car (LCGC). Kendaraan terkait menguasai hingga 22 persen dari total penjualan mobil nasional.
“Mungkin penurunan tidak cukup signifikan karena permintaannya tetap tinggi. Tetapi ada pergeseran kelas di atasnya ke sini (LCGC),” kata Yannes.
Kekhawatiran serupa disampaikan Wakil Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN), Bob Azam. Apalagi saat ini PMI Manufaktur Tanah Air sedang turun di bawah angka 50.
“Kami berharap pemerintah mempertimbangkan kembali rencana kenaikan PPN ini. Kondisi pasar saat ini masih melemah, daya beli masyarakat tertekan, dan PMI Manufaktur Indonesia turun di bawah angka 50, menunjukkan kita sudah memasuki zona kontraksi,” kata Bob dalam kesempatan terpisah.
“Oleh karena itu optimisme pasar harus dipelihara. Kebijakan yang sifatnya mendorong seperti relaksasi (bukannya menaikkan PPN) perlu diprioritaskan,” lanjutnya.
Walaupun begitu, bukan berarti perusahaan menentang upaya pemerintah untuk memperbesar pendapatan yang pada akhirnya berujung terhadap peningkatan pembangunan. Hanya saja saat ini momentumnya tidak tepat.
“Sebab kita tidak bisa jamin juga, ketika tax rate naik, revenue-nya juga akan naik. Kalau ekonominya shrinking, itu malahan jauh lebih bahaya lagi,” ucap dia.
“Apalagi kita dalam beberapa tahun ini deflasi yang disebabkan dari supply ataupun daya beli melemah. Ini yang saya rasa harus dipertimbangkan lagi,” kata Bob lagi.