RAKYATSULBAR.COM – Laporan terbaru menunjukkan bahwa kelompok kriminal di Asia Tenggara telah menyebabkan kerugian finansial yang signifikan, berkisar antara 18 miliar dollar AS (Rp 279 triliun) hingga 37 miliar dollar AS (Rp 575,1 triliun) pada tahun 2023. Dalam analisis dari Kantor PBB untuk Narkoba dan Kejahatan (UNODC), terungkap bahwa penyalahgunaan teknologi menjadi faktor utama dalam aktivitas kriminal yang berkembang pesat ini.
Sindikat kriminal di kawasan ini diketahui memanfaatkan berbagai teknologi modern, termasuk kecerdasan buatan (AI), platform komunikasi seperti Telegram, serta mata uang kripto. Salah satu perwakilan regional UNODC untuk Asia Tenggara dan Pasifik, menekankan bahwa dengan memanfaatkan kemajuan teknologi, kelompok-kelompok ini mampu melakukan penipuan dalam skala yang lebih besar dan sulit terdeteksi, serta melakukan pencucian uang dan penipuan daring.
“Dengan memanfaatkan kemajuan teknologi, kelompok kriminal menghasilkan penipuan berskala lebih besar dan lebih sulit dideteksi, pencucian uang, dan penipuan daring,” kata Masood Karimipour, perwakilan regional UNODC untuk Asia Tenggara dan Pasifik.
Sebagian besar kerugian yang dilaporkan berasal dari praktik penipuan yang dilakukan oleh kelompok kejahatan terorganisir yang menargetkan korban di Asia Timur dan Tenggara sepanjang tahun 2023. UNODC mencatat bahwa total estimasi kerugian finansial yang mencapai lebih dari Rp 575 triliun berasal dari korban penipuan siber yang tersebar di 12 negara dan wilayah, termasuk :
- China,
- Hong Kong,
- Makau,
- Indonesia,
- Jepang,
- Malaysia,
- Filipina,
- Republik Korea,
- Singapura,
- Thailand,
- Taiwan, dan
- Vietnam.
Otomatisasi AI
Menurut laporan UNODC, perkembangan AI generatif telah menjadi faktor kunci dalam memperluas aktivitas kriminal di kawasan ini. Dengan menggunakan AI, para penjahat dapat menyederhanakan tugas-tugas kompleks seperti pencucian uang, pengodean malware, dan pengumpulan data hasil curian.
Lebih jauh lagi, AI generatif kini semakin sering digunakan oleh kelompok kriminal di Asia Tenggara untuk menciptakan deepfake yang sangat meyakinkan.
Deepfake merupakan teknik yang memanfaatkan kecerdasan buatan untuk memanipulasi gambar, video, atau audio, sehingga tampak asli dan dapat dipercaya. Hal ini meningkatkan kemampuan para pelaku kejahatan untuk melakukan penipuan.
Laporan UNODC mencatat peningkatan yang mencolok, lebih dari 1.500 persen, dalam kejahatan terkait deepfake di Asia Pasifik dari tahun 2022 hingga 2023. Selain itu, iklan yang berkaitan dengan deepfake di platform seperti Telegram juga meningkat sebesar 600 persen antara Februari dan Juli 2024.
Telegram telah diidentifikasi sebagai saluran utama yang digunakan oleh jaringan kriminal. Dengan jangkauan yang luas dan minimnya moderasi, platform ini memungkinkan para penjahat untuk beroperasi tanpa khawatir akan penegakan hukum.
Pavel Durov, CEO Telegram, bahkan pernah ditangkap di Prancis karena dituduh atas aktivitas-aktivitas kriminal yang dibiarkan di platformnya. Meskipun demikian, Durov berjanji untuk menghapus beberapa fitur yang sering disalahgunakan oleh para pelaku kejahatan.
Penggunaan Aset Kripto Untuk Cuci Uang
UNODC mengungkapkan, platform perjudian daring yang tidak diatur dan penyedia layanan aset virtual (VASP) yang seringkali tidak sah menjadi faktor lain meningkatnya kejahatan di wilayah Asia Tenggara. Keduanya membantu penjahat untuk melakukan pencucian uang.
Laporan tersebut menyebutkan bahwa 43 persen dana terkait penipuan tahun ini disalurkan ke dompet digital yang baru dibuka pada tahun 2024.
Aset digital yang dilapisi enkripsi sistem blockchain ini mempersulit pihak berwenang untuk mendeteksi penipuan, pencucian uang, dan penipuan daring.
Studi tersebut menyatakan bahwa sebanyak 70 persen transaksi penipuan terkait mata uang kripto secara global pada tahun 2023 menggunakan stablecoin. Stablecoin adalah mata uang digital yang nilainya dipatok pada aset lain, seperti emas atau dolar AS, dengan tujuan menstabilkan harganya.
Menurut laporan UNODC, Tether (USDT) pada blockchain TRON (TRX) menjadi opsi pencucian uang pilihan kriminal. Hampir setengah dari semua transaksi mata uang kripto ilegal terjadi pada blockchain TRON, mencakup sekitar 45 persen dari total volume ilegal. Angka ini meningkat dari 41 persen pada tahun 2022.
Ethereum menyusul dengan 24 persen, sementara Bitcoin mencapai 18 persen, sebagaimana dihimpun KompasTekno dari The Register, Rabu (16/10/2024).