MAKASSAR, RAKYATSULBAR.COM – Pemilik Travel Haji dan Umrah An-Nur Ma’arif, H. Bunyamin Yafid, menilai bahwa penyelenggaraan haji tahun 2024 berjalan lancar dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Meskipun demikian, penggunaan visa ziarah oleh jamaah haji masih menjadi masalah tersendiri.
“Penyelenggaraan yang dilakukan oleh Kementerian Agama sukses. Tidak ada masalah seperti tahun-tahun sebelumnya di Arafah dan Musdalifah, di mana jamaah belum terangkut hingga jam 2 pagi. Namun, masalah tahun ini terletak pada penggunaan visa ziarah yang belum sepenuhnya legal. Ini perlu diedukasi kepada masyarakat,” jelas Bunyamin saat tampil di podcast Harian Rakyat Sulsel, Senin (8/7/24).
Menurutnya, aturan berhaji diatur dalam Undang-Undang Perhajian No. 8 Tahun 2019, di mana visa haji yang diakui adalah dari Kementerian Agama, haji khusus, dan haji mujamalah atau furadah.
“Haji khusus sudah dipatenkan dan memungkinkan untuk berangkat, meskipun tidak langsung. Oleh karena itu, saya menyarankan untuk tidak mempromosikan visa ziarah sebagai visa haji khusus karena hal ini melanggar hukum dan dapat dikenakan sanksi pidana. Masyarakat harus memahami perbedaan antara visa haji dan visa ziarah,” tambahnya.
Bunyamin menjelaskan bahwa penggunaan visa ziarah sebaiknya diberi nama yang jelas agar tidak menyesatkan masyarakat.
“Jika ada yang melaporkan kasus penipuan karena diiming-imingi berhaji langsung namun menggunakan visa ziarah, ini bukan hanya masalah hukum tetapi juga melanggar prinsip-prinsip agama,” ungkapnya.
“Meskipun ada masalah dengan visa ziarah, masyarakat cenderung diam. Mereka enggan melaporkan kasus ini ke polisi atau bahkan hanya berbagi dengan sesama. Hal ini menunjukkan kurangnya pengetahuan dan pendidikan tentang haji serta ketidakpercayaan terhadap proses hukum,” lanjutnya.
Tawaran untuk berhaji dengan cepat dari beberapa travel tertentu menciptakan minat besar di kalangan masyarakat, tetapi juga menimbulkan kebingungan yang perlu diatasi.
“Perlu ada klarifikasi yang jelas terkait dengan penggunaan visa ziarah. Jika diizinkan, harus ada ketentuan yang ketat. Jika tidak, maka jangan biarkan ambigu seperti sekarang,” katanya.
“Masyarakat Indonesia yang berumur 60 tahun ke atas menghadapi tantangan besar dalam mewujudkan impian untuk berhaji. Visa ziarah bisa menjadi solusi bagi mereka, tetapi dampaknya adalah banyak calon jamaah haji yang akan menarik dana haji mereka untuk beralih menggunakan visa ziarah. Hal ini akan menjadi masalah serius bagi pemerintah,” pungkasnya.
“Menurut pandangan ulama, wukuf dimulai dari tenggelam matahari pada tanggal 9 Dzulhijjah hingga terbit matahari pada tanggal 10. Namun, penggunaan visa ziarah sering kali membuat jamaah melakukan wukuf setelah Ashar dan Maghrib, dengan mengambil foto di tenda jamaah haji reguler. Meskipun ini masih menjadi perdebatan di kalangan ulama, tindakan ini bisa mendapat penolakan sosial karena haji dianggap sebagai meningkatkan nilai sosial dan gaya hidup,” tambahnya.
“Saat ini, belum ada regulasi yang jelas terkait dengan penggunaan visa ziarah oleh travel. Namun, jika visa ziarah dilegalkan, akan berdampak besar terhadap keputusan finansial masyarakat untuk berhaji,” tambahnya.
“Kita memerlukan pembaruan dalam regulasi ini. Apakah kita akan terus memberitahu masyarakat tentang haji, sementara tantangan nyata adalah bagaimana memberikan kesempatan kepada mereka yang sudah lanjut usia untuk mewujudkan impian mereka? Saya mendukung legalisasi penggunaan visa ziarah sebagai alternatif untuk berhaji, asalkan ada regulasi yang jelas dan mengikat. Jika tidak, maka larangan harus ditegakkan tanpa kompromi,” tandasnya. (*)