RAKYATSULBAR.COM — Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, M.A adalah ulama karismatik asal Bone, Sulawesi Selatan yang lahir di Ujung 23 Juni 1959. Meraih gelar sarjana muda dan lengkap di Fakultas Syariah IAIN Alauddin Ujung Pandang 1980 dan 1984. Di kampus (saat ini UIN Alauddin Makassar) beliau mulai berproses dalam organisasi kemahasiswaan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).
Kapasitas keilmuan, ulamaan dan sikap ke-Negara-wan beliau tidak diragukan. Studi pascasarjananya diselesaikan di IAIN/ UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan mendapatkan gelar Magister tanpa tesis (1992) serta doktoral (Ph.D) (1998) sebagai alumni terbaik.
Selama menempuh pendidikan doktoral, beliau menjadi mahasiswa yang menjalani Program Ph.D di Universitas McGill, Montreal, Kanada (1993-1994), dan Universitas Leiden, Belanda (1994-1995), mengikuti Sandwich Program di Paris University, Prancis (1995).
Setelah menyelesaikan program doktoralnya, Prof Nas menjadi sarjana tamu di Shopia University, Tokyo (2001), University of London (2001-2002), Georgetown University, Washington DC (2003-2004) dan Islamic Study Center Bellagio, Milan, Italia, (2005). Tanggal 12 Januari 2002 dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam bidang Ilmu Tafsir Pada Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Telah menerbitkan lebih dari 40 buku, di antaranya: Argumentasi Kesetaraan Jender (Perspektif Al-Quran), Teologi Perempuan, Deradikalisasi Pemahaman Al-Quran dan Hadis, Rethinking Pesantren, Mendekati Tuhan dengan Kualitas Feminin, Shalat Sufistik, Geliat Islam di Negeri Non-Muslim Dunia, Geliat Islam di Amerika, dan Jihad Melawan Religious Hate Speech.
Prof Nas juga penulis beberapa entri di dalam Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Al-Quran, dan Ensiklopedi Islam untuk pelajar. Serta, aktif sebagai Penceramah Agama (tasawuf) di masyarakat & Narasumber Program-Program Dakwah Islam di TVRI dan beberapa TV Swasta, juga Radio.
Kapasitas kepemimpinan Prof Nas bisa ditelusuri dari berbagai jabatan strategis yang pernah diemban. Pada bidang pendidikan, pernah menjadi Wakil Rektor III IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ketua Program Studi Agama dan Perempuan, Bidang Kajian Wanita Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia (UI), Rektor Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al Qur’an sampai sekarang dan Asesor Badan Akredaitasi Nasional Perguruan Tinggi.
Di bidang birokrasi pernah menjabar Direktur Jenderal Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam hingga menjadi Wakil Menteri Agama Republik Indonesia dan Imam Besar Masjid Istiqlal saat ini.
Kiprah Prof Nas dalam organisasi internasional dan perdamaian internasional yaitu sebagai Anggota Dewan Penasehat pada Komplek Raja Salman bin Abdulaziz Al-Sau’ud untuk Hadis Nabi, Pendiri Universal Peace Federation dan Dewan Pendiri Masyarakat Dilaog Antar Umat Beragama.
Prof Nas adalan Negarawan yang paripurna. Terjadi fenomena deindonesianisasi pemahaman ajaran agama di dalam Masyarakat. Isu tersebut dibalut dalam kedok pemurnian agama. Celakanya, pemurnian agama itu tidak lebih kepada penafsiran teks ajaran agama berdasarkan tradisi lokal tempat turunnya atau berkembangnya ajaran tersebut.
Yang terjadi justru Arabisasi, Iranisasi, Pakistanisasi, pemahaman agama. Pada posisi tersebut, Prof Nas menegaskan bahwa “kultur setempat memiliki hak untuk menafsirkan teks ajaran agama sewajarnya. Indonesia memiliki hak budaya (cul-tural right) untuk menafsirkan teks ajaran agama”.
Menurut Prof Nas, demi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Formulasi penafsiran ajaran dalam bentuk “Islam Nusantara” seperti yang digagas ulama NU atau “Fikih Kebhinekaan” seperti yang digagas cendikiawan Muhammadiyah adalah pemikiran genuine.
Sikap kenegarawanan Prof Nas sejalan dengan para pendiri bangsa Indonesia. Mengakomodir pluralitas bangsa Indonesia. Tidak meninggalkan prinsp-prinsip Islam sebagai agama mayorita republik ini. Sikap ini terbangun atas gagasan moderasi beragama yang ternam dalam pikiran keagamaan Prof Nas.
Pemikiran beliau bahwa beragama berarti menginternalisasikan nilai-nilai ajaran agama di dalam kehidupan sehari-hari, baik secara pribadi, bersama keluarga, maupun sesama anggota masyarakat, tanpa membedakan etnik , kewarganegaraan , agama , dan kepercayaan.
“Perbedaan bukan alasan untuk merusak kedamaian. Sebaliknya, perbedaan dan pluralitas dalam kehidupan bermasyarakat diharapkan bisa menawarkan keindahan”, begitu prinsip beliau dalam beragama yang membuatnya menjadi Negarawan yang kokoh.
Islam sebagai sebuah agama sangat menekankan perlunya memupuk kedamaian. Islam itu sendiri barasal dari kata aslama-yuslimu berarti memberi kedamaian. Agak ironis jika atas nama Islam lalu seseorang melakukan tindakan yang mencederai kedamaian, apalagi menciptakan rasa takut kepada orang lain. Tuhan memberi nama agamanya dengan Islam, bukan salam, bukan juga istislam yang mengisyaratkan eksklusifisme. Islam lebih bernuansa moderat. Islam sudah moderat.
Nilai-nilai ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an sama-sama menekankan pentingnya kedamaian dan persaudaraan. Menurut Prof Nas “sangatlah tidak tepat jika atas nama keagamaan (Islam) dan kebangsaan (ke-Indonesia-an) lantas suasana kedamaian terusik. Mestinya, kata Islam dan keindonesiaan sama-sama memberikan nuansa kedamaian”.
Selain itu, Prof Nas juga menekankan pentingnya keberpihakan tata kelola ekonomi untuk kesejahteraan bangsa Indonesia. Rasulullah saw dan para sahabatnya, masjid menjadi pusat aktivitas umat Islam. Rasulullah membina para sahabat menjadi kader tangguh dan terbaik umat Islam untuk memimpin, memelihara, dan mewarisi ajaran-ajaran agama dan peradaban Islam.
Selain itu, masjid sekaligus pusat pengembangan ekonomi umat Islam. Masjid merupakan pranata keagamaan yang tak terpisahkan dari kehidupan spritual, sosial, dan ekonomi. perkembangannya,masjid mengalami banyak perubahan mengacu pada fungsi masjid pada zaman Rasullulah dan perkembangan Islam modern di masa depan.
Prof Nas dalam mengelola Masjid Istiqlal mengusung trobosan progresif soal rumah ibadah. Mengusung tagline ‘green and smart mosque’. Melalui tangan dinginnya, Masjid Istiqlal didorong menjadi percontohan dunia, sebagai rumah ibadah yang tidak hanya fokus pada bidang peribadatan dan dakwah. Beliau menjadikannya sebagai rumah umat untuk menyelesaikan semua persoalan bangsa Indonesia. Mulai dari pendidikan, Kesehatan, sosial dan ekonomi.
Pengakuan dunia terhadap Prof Nas adalah Islam Hijau yang digagasnya. Hal tersebut menjadi pemberitaan utama pada NYTimes baru-baru ini.
“Kekurangan fatal kita sebagai manusia adalah kita memperlakukan bumi hanya sebagai sebuah benda,” kata Imam Besar Nasaruddin Umar. “Semakin serakah kita terhadap alam, semakin cepat hari kiamat tiba.” ungkap Sang Imam ke NYTimes.
Pada bidang ekonomi, tahun 2021 misalnya. Masjid Istiqlal mengembangkan Halal Center dan menjadi hub untuk menjalankan beragam aktivitas ekonomi yang memberikan nilai tambahan kemaslahatan umat, termasuk di dalamnya aktivitas usaha dan bisnis.
Masjid Istiqlal bertransformasi menjadi pembina, pendampingan UKM halal dan mengambil peran dalam membangun ekosistem halal hub Indonesia. Istiqlal mengambil peran strategis mewujudkan Indonesia sebagai produsen produk halal dunia.
Inovasi Prof Nas membawa dampak yang signifikan terhadap kemajuan Islam, Indonesia dan dunia. Transformasi Istiqlal mempercepat perkembangan ekonomi syariah dan muamalah yang pada akhirnya Masjid menjadi pusat berkumpulnya umat dalam hubungan habluminallah maupun habluminannas.
Islam, nasionalisme dan pemberdayaan ekonomi menyatu dalam satu kesatuan pemikiran yang dimiliki oleh Prof Nas. Integrasi tiga pemikiran, tidak hanya menjadikan Prof Nas sebagai ulama karismatik. Komprehensifitas pemikiran yang dimiliki oleh Prof Nas menjadikan beliau sebagai ‘Negarawan Paripurna’ dalam menyongsong Indonesia masa depan.
Selamat Hari Lahir ke-65 Prof. Orang Tua kami, Ayahanda kami dan Guru kami.
Muhammad Aras Prabowo
Penulis merupakan akademikus Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia