MAKASSAR, RAKYATSULBAR.COM — Sejumlah warga dusun Basokeng, Desa Dwittiro, Kecamatan Bontotiro, Kabupaten Bulukumba merasa prihatin terhadap proses hukum yang sementara di jalani Muh. Basri pria penyandang cacat fisik dan tuli.
Sebelumnya Muh. Basri Hajar yang juga difabel diadukan ke pihak hukum lantaran dituding sebagai penambang ilegal oleh penegak hukum di kabupaten Bulukumba, dengan kerugian negara Nol Rupiah.
Muh. Basri Hajar dilaporkan oleh salah seorang guru PNS terkait pelanggaran hukum undang-undang pertambangan batu bara dan mineral dengan menggunakan sekop pasir dan gerobak.
Kuasa Hukum Muh Basri, yakni Prawidi Wisanggeni, SH, MH mengatakan bahwa sangat prihatin terhadap penegak hukum terjadi belakangan ini. Dimana masyarakat kecil selalu menjadi korban.
Atas kasus yang menimpa lansia difabel Muh Basri, ia menegaskan siap mengawal hingga selesai, apalagi pihaknya sebagai penasihat hukum telah melaporkan permasalahan hukum ke Kejati Sulsel, Kejagung RI dan Propam Polda.
“Tentu kami prihatin. Kami sudah menyampaikan terkait Peristiwa hukum ini ke Kejati SulSel, Kejagung, dan Propam Polda,” tegasnya, Selasa (16/1/2024).
“Tokoh pemerhati wong cilik di pusat berang dan meminta Kajari dicopot jika bekerja tidak profesional,” tambah pria yang berprofesi hukum itu.
Dia menjelaskan, awal kronologis, informasi dari Indo Itte (istri dari Muh. Basri Hajar), menyampaikan maksud menuliskan surat ini kepada Ibu Hj. Asipa. Berkaitan dengan kasus hukum yang dialami oleh suami saya, yang saat ini sedang menjalani penahanan di Lapas Bulukumba.
“Sungguh dengan berat hati saya harus menyampaikan kejadian yang dialami oleh keluarga kami. Saya merasa dan berkeyakinan bahwa proses hukum yang dialami saat ini oleh suami saya, sangat tidak adil bagi kami yang membuat dada kami sesak,” bunyi pengantar kronologis.
Awalnya, keadaan baik-baik saja. Sampai seorang oknum ASN mengadukan suami saya ke Polisi, dengan dalih menambang ilegal. Sebagai istri dan suami tidak mengerti, mengapa dituduh melakukan penambangan ilegal di tanah yang kami miliki.
Hanya dengan sebuah skop dan gerobak, suaminya mengambil pasir yang menumpuk di tanah kami di dekat Pantai, untuk kami gunakan merenovasi rumah.
“Kami nyatakan, kami tidak memperjualbelikan pasir tersebut, seperti apa yang dituduhkan kepada Suami saya. Hingga pada hari Senin, tanggal 8 Januari 2024,kami diminta untuk datang ke kantor polisi Bulukumba. Dengan penyampaian dari seorang Penyidik datang ke kantor, bawa mobilta, untuk kita ambil pulang sekop dan gerobakta,” penjelasn sesuai surat kuasa.
“Setelah itu saya dan Suami berangkat menggunakan mobil pickup menuju kantor Polisi. Setelah tiba disana, kami kembali diarahkan ke Kantor Lantas, berjarak 1-2 km dari Polres Bulukumba. Di sana, suami saya digiring ke dalam ruangan, sementara saya diminta untuk menunggu di luar,” tambahnya.
Padahal penyidik tahu, kalau suaminya pendengarannya terganggu dan juga penglihatannya terganggu, sehingga suaminya mesti didampingi istri, namun Polisi tidak mengizinkan dirinya sebagai istri mendampingi suami.
Setelah kurang lebih satu jam, suaminya keluar. Oleh penyidik, suaminya diarahkan menuju ke kantor kejaksaan Bulukumba. Tanpa ada surat yang diperlihatkan dan tanpa diberi tahu untuk apa diminta ke kejaksaan.
“Setiba di Kejaksaan, saya (istri) diminta menunggu di luar, sementara Suami saya digiring masuk oleh Pak Polisi. Saya tidak tahu apa yang terjadi di dalam ruangan. Setelah keluar, pihak dari kejaksaan memberi tahu bahwa, Bapak (suami saya) akan ditahan,” jelasnya.
“Setelan tika di sana, kami kembali diarahkan ke kantor Lantas, berjarak 1-2 km dari Polres Bulukumba. Di sana, suami saya digiring ke dalam ruangan, sementara saya diminta untuk menunggu di luar. Padahal penyidik tahu, kalau suami saya pendengarannya terganggu dan juga penglihatannya terganggu,” lanjutanya.
Sehingga suaminya mesti didampingi, namun Polisi tidak mengizinkan saya mendampingi suaminya. Setelah kurang lebih satu jam, suaminya keluar.
Oleh penyidik, diarahkan menuju ke kantor kejaksaan Bulukumba. Tanpa ada surat yang diperlihatkan dan tanpa diberi tahu untuk apa diminta ke kejaksaan.
“Setiba di Kejaksaan, saya diminta menunggu di luar, sementara suami saya digiring masuk oleh Pak Polisi. Saya tidak tahu apa yang terjadi di dalam ruangan. Setelah keluar, pihak dari kejaksaan memberi tahu bahwa, Bapak (suami saya) akan di tahan,” demikian penjelasan singkat lewat tertulis kepada kuasa hukumnya.
Kaitan hal ini, Muh.Arwi Akib salah satu warga dusun basokeng mengaku apa yang dituduhkan kepada Muh. Basri sebagai penambang pasir tidaklah benar dan mengenai dampak abrasi akibat ulah Muh. Basri yang menambang pasir itu juga tidak benar.
Menurut Muh. Arwi Akib selama dirinya tinggal di tempat tersebut tidak pernah ada abrasi yang mengakibatkan rusaknya lingkungan atau banjir, dan kalaupun terjadi abrasi maka dirinyalah yang pertama kali akan melapor oleh sebab rumah tempat kediamannya berhadapan langsung dengan laut.
“Tidak ada abrasi, bohong itu, kalau terjadi abrasi sayalah orang yang pertama akan melapor dan kalau ada orang yang menuntut maka sayalah orang yang pertama kali akan menuntut,”
“Tidak ada pengikisan disini, kita lihat langsung faktanya disini tidak ada abrasi, pasir itu dibawa ombak naik akhirnya menumpuk, tidak perlu di bicarakan kita lihat saja sendiri disini,” tambah Muh. Arwi Akib
Selain Muh. Arwi Akib, Warga atas nama Nongkoi juga mengaku rata-rata aktivitas mata pencaharian warga setempat adalah mengambil pasir dari bibir pantai untuk dijual dibuat menjadi batako.
“Iya rata-rata warga mengambil pasir di bibir pantai karena itu mata pencarian warga,” ungkapnya. (Yad)