Ketua HMI Makassar Berikan Solusi Penanganan Bahas Masalah Sosial di Kota Makassar

  • Bagikan

MAKASSAR, RAKYATSULBAR.COM- Sebagi bentuk kepedulian andil dalam menjaga keamanan dan ketertiban berbagai problem di kota Makassar, Himmpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Makassar, menggandeng pihak kepolisian dalam hal ini Polrestabes Makassar dalam penangan masalah sosial.

Adapun yang hadir dalam giat yakni. Kombes Pol Mokhamad Ngajib S.IK., M.H (Kapolrestabes Makassar), perwakilan MUI Kota Makassar, Dandimtabes 1408 BS Kota Makassar, Sekretaris Kesbangpol Kota Makassar, Perwakilan Ketua DPRD Kota Makassar, Perwakilan Kajari Makassar, HMI Cabang Kota Makassar, Perwakilan Mahasiswa, tokoh masyarakat, tokoh pemuda dan pihakn lainya.

Muh. Arsy Jailolo, SH,MH (Ketua Umum HMI Cabang Makassar) mengatakan, program FGD ini merupakan tahap awal dalam mencari pemecahan masalah yang terjadi di Kota Makassar.

“Pada kegiatan berikutnya kami berharap semua pihak yang ada dapat bekerjasama dalam mencari solusi pemecahan masalah sosial dimasyarakat dan saya berharap kita dapat merubah Mindset dan Culture yang dapat memecahkan masalah sosial yang terjadi di Kota Makassar,” jelasnya.

Muh. Arsy Jailolo, juga sebagai pemateri. Ia menyampaikan beberapa pandangan dan solusi di dalam forum tereebut.

Menurutnya, Makassar milik semua bangsa, dimana sebagian besar yang tinggal di Kota Makassar bukan hanya berasal dari suku Makassar saja, melainkan dari luar Sulawesi.

“Dan berbagai suku dan masih banyak lagi, hal itu menandakan bahwa kota Makassar merupakan kota Heterogen,” ujarnya.

Alumni FH UMI itu menilai, permasalahan yang terjadi di Kota Makassar akibat pergeseran Kebudayaan dan mindset pemuda antara lain berbagai faktor.

“Peredaran Narkoba, Prostitusi online, pelanggaran lalulintas, perang kelompok, cyber crime, pelaku pembegalan,” jelasnya.

Sebagai orang berlatsr belakang hukum. Dia menyebutkan, penyebab terjadinya masalah antara lain. Putus sekolah (Sumber Daya Manusia), faktor ekonomi, lemahnya pendekatan akar budaya dalam simpul masyarakat atau lemahnya pendekatan spititual Kebudayaan seperti budaya Mapatabe.

Pengaruh lingkungan sosial, pikiran mayoritas dan minoritas yang masih tertanam di mindset pemuda Makassar yang masih terdoktrin.

“Cara pencegahan Masalah antara lain. Zona sadar pendidikan, zona sadar berlalulintas, ona sadar bebas Narkoba, toleransi umat beragama, waspada terhadap kejahatan begal, cyber. Pencegahan oerang kelompok serta pencegahan pergaulan bebas,” tukasnya.

Sedangkan, Kombes Pol Mokhamad Ngajib S.IK., M.H (Kapolrestabes Makassar), mengapresiasi Mahasiswa yang telah memberikan ide kreatif terkait RPP (Restoratif, Preventif, Psikologi) Polrestabes Makassar.

Menurutnya, permasalahan sosial di Kota Makassar di antaranya adalah balapan liar, tawuran antar kelompok, yang belum bisa hilang secara 100 persen, namun sudah dapat di kendalikan berkat partisipasi oleh masyarakat itu sendiri.

“Ada hal yang sangat memprihatinkan yaitu adanya pengkaderan atau latihan perang antar kelompok yang di lakukan oleh Anak rentang usia antara 8 – 11 tahun di Wilayah Kecamatan Manggala dan wilayah Maccini,” ungkapnya.

Dikatakan, beberapa penyebab terjadinya perang kelompok antara lain yaitu minum minuman Ballo (minuman keras), permasalahan ekonomi, Pendidikan, tingkat Pengangguran yang tinggi.

Dengan adanya kegiatan FGD ini kita dapat mencari solusi dan rekomendasi terbaik terkait beberapa permasalahan sosial yang sering terjadi di Kota Makakassar.

“Dan kita berharap dengan ini ada Sinergitas yang terjalin antara Kepolisian, TNI, Pemerintah Kota Makassar, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Tokoh Pemuda dan Dari elemen Mahasiswa,” harapnya.

Sedangkan, Sofyan Thamrin S.Pd, MP.d (Sosiolog) menyebutkan, kekerasannya tereproduksi atau teregenerasi karena tafsir sejarah Makassar yang sangat maskulin atau citra Makassar yang diceritakan secara heroik dan tidak dapat diubah secara langsung namun dapat berubah secara bertahap.

“Selalu berkaitan dengan kondisi ekonomi masyarakat. Model perkumpulan/komunitas masyarakat Makassar yang terlalu monoton, dimana menganggap perbedaan itu adalah sesuatu yang tidak menarik atau hal biasa biasa saja,” katanya.

Lanjut dia, hal yang perlu dibangun adalah komunitas lintas (daerah, lembaga, agama maupun kelompok) agar dapat mereduksi atau meminimalisir terjadinya konflik sosial seperti perang kelompok.

Konflik dapat terjadi karena ada aktor dibelakangnya namun hal ini masih jadi asumsi di beberapa kalangan masyarakat.

“Makassar krisis ruang perjumpaan karena kurangnya ruang publik yang menjadi tempat bertemunya beberapa perbedaan yang kadang memicu konflik,” tukasnya. (*)

  • Bagikan