MAKASSAR, RAKYATSULBAR.COM — Aliansi Mahasiswa Lintas Kampus Tamalanrea (AMALIKTAR) melakukan demonstrasi di depan pintu I Unhas, Makassar, Sulsel, Kamis(20/7).
“Kami menolak keberadaan PSEL di kawasan Tamalanrea,” kata Mustakim saat orasi.
Pihaknya juga mendesak Panitia KPSI-PSEL dan Pemerintah Kota Makassar membawa hasil kajiannya di seluruh kampus yang ada di Tamalanrea sebelum Kawasan Tamalanrea ditetapkan lokasi pembangunan PSEL.
Ditegaskan, Aliansi Mahasiswa Mahasiswa Lintas Kampus Tamalanrea menolak keberadaan PSEL di kawasan Tamalanrea yang merupakan kawasan Pendidikan bukan Kawasan Industri.
“Kawasan Tamalanrea yang merupakan kawasan Pendidikan bukan Kawasan Industri,” ujarnya.
Di sisi lain, dia menyoroti pernyataan Wali Makassar yang menyebut Prof. Anwar Daud sebagai Ahli Jadi-jadian.
“Sangat Menyesalkan Pernyataan Wali kota Makassar dilaman Harian FAJAR yang kami duga menyebut Prof. Anwar Daud sebagai Ahli Jadi-jadian,” tuturnya.
Sebelumnya, Wali Kota Makassar, Danny Pomanto menyebut penolakan tersebut tak berdasar, lantaran kawasan Tamalanrea dan Biringkanayya sudah sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Sesuai dengan aturan tersebut kedua lokasi tersebut seyogianya diperuntukkan untuk kawasan industri, PSEL ini kata dia bukan merupakan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) melainkan masuk dalam jenis industri.
“Ini bukan tempat pembuangan sampah yang mau dibikin, tapi Industri, adalah kawasan sekitar KIMA. Itu kan ada tata ruangnya. Makanya berani sekali dia ngomong,” tegas ayah tiga anak ini.
Pun dia mengkritisi sejumlah ahli yang menyebutkan kawasan tersebut sama sekali tidak tepat. Dimana yang paling tepat adalah di sekitaran kawasan Kecamatan Manggala. Sedangkan Kecamatan Manggala sendiri bukan kawasan yang diperuntukkan untuk industri.
“Tidak pernah ada land usse (penggunaan lahan) industri itu di Manggala. Jadi kalau ada yang mengaku ahli bahwa di situ (Manggala) cocok, itu ahli jadi-jadian namanya,” tukas Danny.
Adanya riak-riak di lapangan dengan proyeksi tempat ini disebut Danny sebagai permainan politik oleh oknum tertentu. Apalagi ketiga konsorsium asal Tiongkok tersebut juga tengah bersaing.
“Itu politik itu. Mereka bersaing. Tegak lurus sama hukum saja. Jadi tata ruang industri dan pergudangan di situ,” jelasnya.
Soal progres lelangnya, Danny menegaskan tidak akan pernah bertandatangan dengan Surat Keputusan (SK) lelang, kendati proyek ini merupakan instruksi langsung dari pusat, sampai rekomendasi dari para Aparat Penegak Hukum (APH) ini terbit.
Sebagaimana diketahui APH sempat dilibatkan dalam pelaksanaan lelang tersebut. Namun Danny mengatakan ini membutukan bukti tertulis.
Dia mengaku tidak ingin kembali berkasus sebagaimana kasus PDAM beberapa waktu lalu.
“Biarmi (terlambat), demi keselamatan anu, siapa yang mau lindungi kita. Jadi bulan-bulanan politik. Kita ini mau buat baik,” tegasnya.
Tanggapan Danny itu merespons pernyataan Pakar Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Hasanuddin (Unhas) Prof Anwar Daud sebelumnya yang melihat beberapa persoalan yang akan dihadapi oleh pemerintah dengan rencana ini.
Pertama kata dia, lokasi yang akan dibangun di luar kawasan TPA dinilai akan banyak menimbulkan kisruh sosial. Seperti masalah amdal dan amdalalin.
“Ini ada masalah pada pengangkutnya, selama ini kan (di Tamangapa) tidak begitu bermasalah,” jelas Piminan Pusat Studi Lingkungan Unhas ini.
Parang Loe bisa mengganggu lalu lintas dan lingkungan di kawasan padat BTP, dimana ini justru akan jauh lebih rumit, demikian pula dengan kawasan Kapasa.
Pun tawaran Pemkot Makassar untuk menyesuaikan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) masih akan menyisakan persoalan baru dengan pembahasan regulasi dari tingkat kota hingga provinsi, yang kemudian memakan waktu yang tidak sebenar.
Sebaiknya kata dia pembangunan tetap dalam kawasan TPA Tamangapa apalagi sejumlah persiapan sudah dilakukan sebelumnya, dari rencana pembebasan lahan hingga pembangunan Bintang Lima, ini berpotensi akan sia-sia.
Kedua mau tidak mau pemerintah harus menghadapi stigma dari investor Tiongkok yang dalam beberapa kasus banyak menyisakan stigma yang buruk di masyarakat.
“Kalau teknologi dari China kita taulah, Kita juga tidak tau degan panitianya, mungkin saja ini karena masalah biaya juga,” katanya.
Makanya kata dia ini harus ditelaah dengan baik oleh Pemkot. Perlu ada pelibatan tim ahli agar hal ini bisa dihindari.
Jangan sampai teknologi yang dihadirkan ini justru tak layak dengan adanya limbah baru berupa asap yang merusak lingkungan.
“Seperti di Singapura itu, biar asapnya tidak ada yang ke luar, karena saya sudah dua kali kunjungan ke sana,” sambung Daud.
Persoalan ketiga kata dia adalah tenaga kerja. Ini jelas akan banyak dipertanyakan oleh masyarakat. Jangan sampai masyarakat sekitar justru kurang diberdayakan.
“Karena ini sebenarnya hal yang pasti, dalam Amdal itu kan minimal 70 persen tenaga lokal. Tapi jangan sampai nanti orang cina masuk dan mereka yang dominan lagi,” tegasnya.
“Makanya kalau di paksakan di Tamalanrea pasti ada polemik, kalau mau kurang polemiknya yah mendingan di sekitaran Tamangapa saja,” tandas Daud.
Sementara itu, Ketua Panitia Lelang PSEL Makassar, Bau Asseng, sudah mendapatkan jadwal baru pengumumang pemenang lelang.
“Jadwal pengumumannya ditargetkan tanggal 25 Juli,” ujarnya.
Sementara sebelumnya, lelang ini sudah dua kali diundur dari jadwal semestinya dimana terkahir pengumuman dijadalkan pada 14 Juli lalu.
Bau berharap tak ada kendala dan seluruh hal ini bisa segera diselesaikan Pemkot Makassar.
“Jadi mohon doanya semoga dilancarkan,” sambung Bau.
Ihwal adanya keterlambatan, Bau Asseng telah menegaskan untuk ground breaking dari proyek ini dipastikan bisa dilakukan tahun ini. Tepatnya pada Desember. Sehingga penentuan pementuan pemenang harus segera dilakukan.
Masih ada sejumlah prosedur dari investor yang harus dipenuhi. Dari izin hingga konstultasi langsung dengan PLN terkiat harga jualnya.
Hal ini harus dilakukan sebelum masa pemerintahan Presiden Joko Widodo berkahir 2024 mendatang. (*)