MAMUJU, RAKYATSULBAR.COM – Alumni Universitas Hasanuddin yang tergabung dalam IKA Unhas Jabodetabek menilai, ketakutan yang dinarasikan bahwa tahun 2023 Indonesia akan memasuki tahun krisis ekonomi sebagai ketakutan yang tidak mendasar.
Hal tersebut mengemuka dalam diskusi awal tahun Unhas Talks: Outlook Indonesia 2023, Sabtu, (14/1/2023), di Jakarta.
Ada dua alasan mengapa Indonesia tak perlu kuatir pada kemungkinan tersebut. Pertama, Indonesia mampu melewati masa krisis ekonomi 1997-1998 dengan ditopang UKM yang digerakkan masyarakat, meski sifatnya informal dan tidak tercatat.
Kedua, 77 persen atau sekitar 16.000 desa di Indonesia yang ada sekarang ini, tidak terkait dengan aktivitas ekspor-impor. Mereka bergerak dengan ekonomi sendiri. Hanya 23 persen desa yang tersisa, terkait dengan globalisasi.
Karena itu, kata Andi Muhammad Sadat, PhD, ekonom dan dosen Universitas Negeri Jakarta, yang kita perlukan hanya stabilitas hukum dalam bernegara.
“Ekonom terkadang over prediction, over estimate. Mereka terlalu hebat menjelaskan ketika berhadapan dengan publik, seolah-olah orang-orang ini tidak mengerti apa-apa. Dan jika salah, mereka lebih hebat lagi menjelaskan mengapa prediksi itu keliru,” kata Sadat.
Resesi yang real di depan mata saat ini, menurut Sadat, kita kehilangan 400 juta pekerjaan akibat robotisasi. Sepuluh tahun terakhir, 65 persen pekerjaan telah digantikan robot dengan biaya yang ikut meningkat untuk menginstal robot tersebut.
Di masa sebelumnya, jika dikatakan pertumbuhan ekonomi 1 persen, maka terbuka 200 juta lapangan pekerjaan. Hari ini pertumbuhan 1 persen hanya mampu membuka 80 juta lapangan pekerjaan, itu pun angka maksimum. Bagaimana nasib orang-orang ini. Mau diapakan lagi?
“Ini resesi sesungguhnya. Sangat disayangkan bahwa baik pemerintah, partai politik, bahkan kalangan akademisi tidak ada yang menyuarakan hal ini,” kata Sadat.
Agar suara kalangan terdidik terdengar, Drs Hilmi R Ibrahim, MSi, dosen Unhas sekaligus politisi Partai Ummat, mengajak alumni Unhas untuk terjun ke dunia politik.
“Jangan alergi pada politik. Semua sektor dalam kehidupan bernegara, termasuk ekonomi dan hukum diatur lewat jalur politik,” imbau Hilmi.
Unhas, menurut Hilmi, secara geopolitik perlu mengambil peran dalam spektrum politik nasional. Meski memiliki wakil presiden alumni Unhas yang menjabat selama dua periode, pembangunan kawasan timur Indonesia masih tertinggal.
Konsensus politik, kata Hilmi, hanya dapat dicapai lewat jalur politik. Jika enggan masuk ke dalam ranah politik, jangan salahkan jika kebijakan investasi Indonesia Timur terasa tak adil.
Ketidakadilan dalam kebijakan dan perlakuan dalam hukum, kata Siking Suryadi, SH, MH, advokat dan kurator, narasumber bidang hukum dalam Unhas Talks, mencerminkan hukum yang dijalankan di Indonesia hanya alat untuk mencapai tujuan penguasa dan kelompok tertentu.
Siking menilai, produk hukum Indonesia dijalankan dengan tidak konsisten. Hukum dan aturan tertulis dengan jelas tetapi kita tak bisa memprediksi keputusan hukum yang mungkin terjadi.
“Kita butuh kepastian hukum untuk mengantisipasi masalah dan krisis yang mungkin terjadi. Apapun produk hukum yang dikeluarkan pemerintah jika tujuannya tidak bagus, maka hukum itu dengan sendirinya bukan hukum yang baik. Jika tujuan kita untuk maju, maka hukum harus membawa kita ke sana,” tandas Siking.
Unhas Talks merupakan upaya bersuara untuk meredakan ketakutan yang timbul di masyarakat terkait kemungkinan Indonesia memasuki masa krisis pada 2023 ini, seperti yang disampaikan Presiden Joko Widodo dan sejumlah pejabat pemerintah.
Muhammad Ismak, SH, MH, advokat sekaligus Ketua IKA Unhas Jabodetabek menyampaikan, ketakutan di masyarakat harus diminimalisasi. Karena itu kalangan terdidik harus bersuara. Pemerintah seharusnya menyuarakan harapan positif, agar masyarakat melihat harapan baik di waktu mendatang.
Senada dengan Ismak, Sadat menyampaikan, narasi ketakutan seperti yang terdengar belakangan ini perlu segera dihentikan. Karena narasi-narasi ketakutan seperti itu secara psikologis sangat memengaruhi masyarakat. Secara teknis tahun 2020, negara ini sudah mengalami resesi ekonomi.
“Tiga kuartal berturut-turut kita defisit. Krisis paling nyata yang dihadapi Indonesia saat ini justru bukanlah krisis ekonomi, tetapi distrust terhadap pemerintah,” kata Sadat.
Seharusnya, menurut Sadat, pemerintah membangun sistem yang membuat publik percaya bahwa pemerintah sedang bekerja dan krisis akan teratasi dengan baik. (*)