MAKASSAR, RAKYATSULBAR.COM – Angka kasus perceraian di Kota Makassar, Sulawesi Selatan terbilang cukup tinggi sepanjang tahun 2022. Di mana data permohonan
yang masuk di Pengadilan Agama Kelas 1A Makassar sebanyak 2.635 perkara.
Dari angka tersebut, permohonan yang diajukan perempuan cukup tinggi sebesar 2.024 cerai gugat (CG). Sedangkan permohonan yang diajukan laki-laki sebanyak 611 cerai talak.
Dalam perjalanannya, 2.165 dikabulkan, 245 dicabut, enam ditolak, 24 tidak diterima, 21 digugurkan dan dua dicoret dari register.
Dengan tingginya angka perceraian tersebut memprihatinkan. Sebab bakal berdampak terhadap anak – anaknya.
Dikutip dari data PA Makassar, kasus perceraian itu, mayoritas istri yang mengajukan gugatan perceraian terhadap suaminya.
Kaitan hal ini, akademisi Psikolog Universitas Negeri Makassar (UNM) Dr. Muh. Daud, M.Si menyebutkan jika guvatan cerai terbanyak itu dilakukan oleh pegawai Pemkot Makassar.
“Kalau pengalaman menangani kasus Kasus perceraian di Pemkot Makassar,” ujarnya, Rabu (28/12/22).
Dekan Fakuktas Psikologi UNM itu menuturkan, berdasarkan penelusuran. Dulu di BKD Makassar, pernah menemukan bahwa perceraian yang banyak terjadi di kalangan PNS lingkup Pemkot Makassar.
“Kami menemukan kalangan Guru terbanyak, dan setelah kita cermati kenapa banyak guru kaum perempuan mengajukan gugatan cerai karena rupanya banyak guru mengalami masalah keluarga dan kelihatannya tidak bisa terselesaikan,” tuturnya.
Dosen yang berpofesi juga sebagai tim psikologis di berbagai kasus. Dia menyampaikan kalau dari sisi ekonomi bahwa suami pencari nafkah keluarga menjadi sumber kekuatan Ekonomi.
Tapi faktanya tidak sedikit para Guru khususnya perempuan itu memiliki suami yang tidak punya pekerjaan yang tetap dan jelas. Kondisi itulah maka waktu itu pihaknya menemukan Guru-guru yang mengajukan cerai kepada suaminya.
“Ditemukan dari Guru-guru yang mengajukan cerai memiliki suami pekerjaan yang jelas, tapi ada faktor lain jadi pemicunya,” jelas Dosen UN itu.
Kendati demikian, soal pemicu perceraian. Dia mengatakan, mungkin faktor internal, dimana perempuan beraangkutan merasa tidak ada lagi kecocokan. Juga mungkin ada kekecewaan yang terjadi di antara keduanya.
Lanjut dia, boleh jadi juga Guru perempuan setelah mendapat tunjangan profesi atau sertifikasi dia merasa sudah bisa menghidupi keluarganya.
Sehingga setelah menjalani hubungan keluarga cukup lama tapi perkembangannya ditemukan keliatannya ada pemicu yang bisa menjadi potensi terjadinya ketidakcocokan ketenteraman dalam keluarga sehingga ada upaya untuk mengajukan perceraian.
“Itu tadi kami menemukan bahwa Guru ini terutama menerima tunjangan sertifikasi guru sudah merasa semakin sudah siap menghadapi keluarganya tanpa bantuan suami lagi. Apalagi suaminya tidak memiliki pekerjaan yang jelas,” pungkasnya.
Sesuai data PA Makassar, berdasarkan data Harian Rakyat Sulsel. Sejak 2019 sampai 2022 angka perceraian di kota Makassar capai 11.780 kasus. Jumlah ini terbanyak diajukan istri.
Sesuai data, pada tahun 2022 sebanyak 2.635 perkara perceraian. Maka kasus perceraian di Kota Makassar pada tahun 2021 lalu capai 2.654 kasus.
Dinana sejak Januari hingga Desember 2021 kasur perceraian diajukan di pengadilan agama clas 1A Makassar, capai 2654 kasus. Terdiri dari cerai talak (CT) 647 kasus, sedangkan cerai gugat (CG) 2007 kasus.
Sementara di tahun 2020 angka perceraian sejak Januari hingga Desember 2020 lalu sebanyak 2.948 kasus perceraian di Kota Makassar. Estimasinya, cerai gugat diajukan oleh istri lebih banyak yakni 2.221 kasus. Sedangkan cerai talak dilakukan suami hanya capai 727 kasus.
Diketahui, sesuai data tahun 2019 angka perceraian di Makassar yang ditangani Pengadilan Agama (PA) Makassar sebanyak 3.543 perkara.
Hal ini disebabkan berbagai masalah, seperti alasan himpitan ekonomi, percekcokan, kekerasan dalam rumah tangga, perselisihan secara terus-menerus.
Tak hanya itu, Muh. Daud, M.Si memberikan analisa terkait faktor yang menyebabkan peningkatan perceraian di kota Makassar, tiap tahun.
Menurutnya, dari sisi psikologi penyebabnya perceraian meningkat ada 2 fator yaitu: Internal dan eksternal. Dimana faktor internal terkait dengan karakter, kepribadian, kematangan, dan komitmen awal pernikahan yg tdk jelas, serta ketidakcocokan atau ketidakpuasan pasangan suami-isteri.
“Sedangkan, faktor eksternal terkait dengan hadirnya pihak ketiga, pekerjaan, ekonomi dan lainya,” ujarnya.
Semua orang pasti ingin hubungan rumah tangganya bahagia dan berlangsung seumur hidup. Namun walaupun sudah melakukan semua yang terbaik, tidak menutup kemungkinan menemui masalah rumah tangga, bahkan yang bisa memicu perceraian.
Di balik masalah ini, ada banyak penyebab perceraian yang melatarbelakanginya. Penyebab perceraian dapat terjadi berfariasi. Mulai kebutuhan ekonomi, berselingkuh, hingga kekerasan dalam rumah tangga. Kondisi ini bisa mengganggu kesehatan mental maupun fisik pasangan yang bercerai.
Ia menyampaikan, adapun dampak dari perceraian menurut kacamata psikologis perceraian itu adalah tentu dampak pasangan suami dan istri, juga berdampak pada anaknya.
“Dampak yang paling terasa adalah kepada anaknya, karena banyak anak anak yang bermasalah setelah kita telusuri latar belakang keluarganya salah satu pemicunya adalah orang tuanya broken home,” tuturnya.
Selain itu, kata dia. Jadi dampak paling nyata dari sisi psikologis juga adalah kepada perkembangan anaknya sendiri. Perkembangan anak yang orang tuanya bercerai itu terbawa hingga anak anak itu remaja dewasa Bahkan.
“Sehingga ketika dalam perkembangan hidupnya mereka selalu terbawa dengan pengalaman perceraian orang tuanya broken home ini. Maka itu akan berpengaruh pola perilaku dan tingkah laku anak itu sendiri,” pungkasnya. (Yadi)