MAKASSAR, RAKYATSULBAR.COM- Universitas Hasanuddin bersama Australia-Indonesia Centre (AIC) dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan serta 10 universitas terkemuka Indonesia dan Australia melakukan pertemuan dalam rangka membahas hasil penelitian yang dilakukan di Sulawesi Selatan.
Penelitian dilakukan untuk mendorong pengambilan kebijakan berbasis bukti melalui Program PAIR (Partnership for Australia-Indonesia Research/Kemitraan Riset Australia-Indonesia).
Program PAIR telah melaksanakan sejumlah riset terapan di Sulawesi Selatan sejak 2019 dalam bidang Transportasi, Logistik dan Rantai Pasok; Komoditas Rumput Laut, Kalangan Muda dan Pembangunan, Kesehatan dan Kesejahteraan. Pertemuan berlangsung mulai pukul 09.00 Wita di Ruang Rapat A dan B, Lantai 4 Gedung Rektorat Unhas, Kampus Tamalanrea, Makassar, Senin (5/12/22).
Rektor Unhas Prof. JJ menyampaikan ungkapan terima kasih atas kolaborasi yang berjalan baik dengan para peneliti Indonesia dan Australia dalam memberikan suatu solusi terhadap permasalahan masyarakat Sulsel dalam berbagai bidang melalui penelitian.
Dirinya mengatakan, secara umum kolaborasi penelitian melalui program PAIR bukan semata-mata media penelitian bagi para peneliti, akan tetapi menjadi ruang membantu masyarakat dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi.
“Kolaborasi ini sudah berjalan dua tahun lamanya, berbagai penelitian yang dilakukan diharapkan dapat menjadi rekomendasi bagi pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan yang sesuai dengan permasalahan masyarakat. Kemitraan melalui program PAIR sangat bermanfaat, sehingga setelah pelaksanaan ini selesai akan dilanjutkan dengan PAIR Lab yang cakupannya lebih luas,” jelas Prof. JJ.
Setelah memberikan sambutan pembukaan, kemudian dilanjutkan dengan pemaparan peneliti berkaitan dengan masing-masing bidang yang diteliti.
Misalnya saja dalam hal kalangan muda dan pembangunan yang disampaikan oleh Prof. Wolfram Dressler.
Prof. Wolfram mengatakan, perekonomian Sulsel sedang dalam masa transisi. Seperempat dari populasinya yang berjumlah hampir sembilan juta adalah kalangan muda. Mereka berusia antara 16 – 30 tahun yang banyak tinggal di daerah pedesaan.
“Wilayah ini sedang mengalami perubahan besar di bidang agraria di mana produktivitas pertanian menurun, pewarisan tanah ditantang, dan tanah pertanian diperoleh untuk perluasan perkotaan dan pembangunan infrastruktur. Perubahan ini mendorong generasi muda untuk mencari peluang kerja di tempat lain,” jelas Prof. Wolfram.
Lebih lanjut, Prof. Wolfrom mengatakan fokus penelitian dilakukan di daerah Maros dengan jumlah penduduk hampir 390.000. Maros merupakan contoh area yang mengalami perubahan agraria yang relatif cepat.
Hasil penelitian yang dilakukan, Prof. Wolfrom merekomendasikan beberapa hal salah satunya dengan memperkuat kolaborasi, komunikasi, dan kepercayaan antara pemerintah, bisnis, dan industri melalui forum multisektor.
Setelah seluruh peneliti memaparkan hasil penelitian dan rekomendasi kebijakan yang diperlukan, kemudian dilanjutkan dengan sesi diskusi untuk memperdalam hasil penelitian dan rekomendasi yang diberikan. Seluruh rangkaian kegiatan berlangsung lancar hingga pukul 12.00 Wita. (Yadi)