MAKASSAR, RAKYATSULBAR.COM– Dalam perjalanan sejarah bangsa hingga usia ke 77. Baru pertama kali tercatat dalam lembaran tinta emas “Hoer Findamar” atau perahu mini tanpa awak asal Kecamatan Pulau Kur, Kota Tual Provinsi Maluku, ditetapkan Pemerintah pusat sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTb) tahun 2022 oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi RI.
“Syukur Alhamdulillah melalui proses Panjang kurang lebih 3 Tahun akhirnya Budaya Religi Hoer Findamar (Perahu Lailatul Qadar) di Kecamatan Pulau Pukau Kur melalui Sidang Penetapan Warisan Budaya Nasional Tak Benda di Indonesia, perahu mini ini dinyatakan lulus dan ditetapkan melalui Keputusan Menteri Pendidikan Kebudayaan dan Riset Teknologi Indonesia pada tanggal 21 Oktober 2022,” tulis Lajania Madamar, S.Sos selaku Kabag Kerjasama kota Tual, Jumat (4/11/22).
Selaku mantan camat Kur Selatan, Lajania terbilang aktif mempromosikan perahu mini atau istilah bahasa kampung setempat dikenal “hoer findamar”.
Selaku putra daerah asal pulau Kur dia semasa menjabat Camat di Kecamatan Kur, melakukan lomba hias dan juga festival untuk perahu mini dijadwalkan setiap tahun sekali bertepatan jelang malam lailatul qadar atau dikenal malam ke 27 setiap bulan Ramadhan yang digelar tahun sekali.
“Ini suatu kebaggan bagi masyarakat Kur. Dimana tetap memelihara dan merawat budaya leluhur di kampung Makarah tercinta,” jelasnya.
“Insya Allah, saya akan coba bangun komunikasi dengan Balai Pelestarian Budaya Nasional di Maluku untuk Butar atau mahkota idul Fitri lagi,” sambung Lajania.
Diketahui, perahu mini asal Kecamatan Kur ditetapkan saat Sidang oleh Tim Ahli Warisan Budaya Nasional Tak Benda di Indonesia pada tanggal 21 Oktober 2022.
Penetapan tersebut dituangkan dalam Surat Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 414/P/2022 Tentang Penetapan Warisan Budaya Takbenda Indonesia tahun 2022.
Sidang Penetapan Warisan Budaya Takbenda Indonesia Tahun 2022 menghasilkan rekomendasi penetapan sejumlah 200 usulan Warisan Budaya Takbenda Indonesia dari 32 Provinsi.
Secara gambaran umum, merawat budaya warisan leluhur terus dilakukan. Dalam pusaran kekinian sangat perlu dipelihara agar tak tergerus oleh perkembangan zaman.
Karena, modernitas datang ditandai dengan sikap instan dan serba meninggalkan budaya yang dianggap tak sesuai dengan akal. Tapi, ada beberapa pagelaran kebudayaan di Kecamatan Pulau-pulau Kur, Kota Tual. Provinsi Maluku. Masih ada yang mewarisi budaya leluhur meski terus didesak oleh arus globalisasi.
Di Kecamatan Pulau Kur yang dikenal dengan julukan Finua “MAKARA”. Ini ternyata masih taat pada petuah leluhur dalam bahasa keseharian masyarakat pulau-pulau Kur dikenal (Nit Mata Yat). Sekian petuah yang masih langgeng dilaksanakan oleh masyarakat disana.
Sebagai putera daerah dari kampung para “Raja Makara”. Patut berbangga. Dari sekian banyak budaya di Kecamatan Pulau Kur, Kota Tual Provinsi Maluku. Dikenal dengan perahu Mini atau bahasa Kur dengan sebutan “Hoer Findamar Lailatul Qadar” terus dikembangkan Pemerintah Kecamatan setempat bersama masyarakat adat.
Posisi Pemerintah Kecamatan dan masyarakat adat sebagai lembaga di wilayah itu, dianggap sangat penting untuk melestarikan dan merawat kearifan budaya lokal.
Tanpa kesadaran kita untuk menjaga dan merawat seni tradisi pencak “Perahu mini” ini, kita akan kehilangan sebuah karakter. Inilah sebuah karakter warisan berharga yang harus kita rawat dan jaga bersama-sama.
Dalam pelaksanaan pagelaran festival perahu mini dilakukan setiap tahun musim bulan suci Ramadhan. Suka cita bulan suci Ramadan, ditunjukan warga Kecamatan Pulau Kur, Kota Tual, dengan melakukan tradisi “pemberangkatan perahu mini tanpa awak” di di pesisir bibir pantai menuju Laut.
Nama lain dari perahu mini adalah Hoer Findamar Lailatur Qodar. Secara historis, menurut tokoh adat setempat, kampung yang berada di Kecamatan Pulau Kur, wilayah Rachap Kilmas atau Kur Selatan. Perahu mini “Hoer Findamar” dilakukan tepat pada puasa ke 26 sore jelang malam ke 27 saat musim Ramadhan.
Prosesi yang dilakukan dengan cara pembuatan perahu mini dari kayu dilengkapi layar putih dan kemudi kecil. Namun, menariknya. Perahu mini ini diawali pembacaan doa dan adzan, kemudian diberangkatkan tanpa awak. Muatan di dalam perahu ini, makanan ciri khas daerah di Kur yakni gorengan yang terbuat dari sagu, juga ketupat, gorengan ubi, pisang dan lainya.
Konon katanya, sesuai perspektif mereka, perahu mini diberangkatkan ke laut di waktu petang Ba’da Ashar jelang sholat Magrib. Di dalam muatan perahu juga terdapat selembar kertas dengan tulisan nama-nama keluarga para almarhum/almarhumah yang telah meninggal.
Meski banyak versi yang berbeda. Namun, mereka ada berpandangan, perahu mini berangkat ke laut dengan membawa pesan amanah kepada para sanak keluarga yang telah meninggal. (Yadi)