Kenapa Banyak Orang Berminat Menjadi Wartawan?

  • Bagikan
Drs. Nurzaman Razaq Mantan Wakil Ketua PWI Provinsi Sulsel
Drs. Nurzaman Razaq Mantan Wakil Ketua PWI Provinsi Sulsel

Oleh: Drs. Nurzaman Razaq
Mantan Wakil Ketua PWI Provinsi Sulsel

Kenapa banyak orang berminat menjadi wartawan? Jawaban atas pertanyaan ini beragam pendapat. Namun yang umumnya menilai positif bahwa, seseorang yang berpredikat wartawan, memiliki kharisma tersendiri di tengah publik, yang memiliki kemampuan serba bisa dan serba bebas dalam mengakses pemberitaan yang dia inginkan, disegani bahkan ditakuti oleh banyak pihak. Serta diajak untuk menjalin kemitraan dalam berbagai hal yang positif.

 

Intinya daripada menganggur, wartawan sebagai ladang dan lapangan pekerjaan yang sangat mudah dan tidak ribet. Cukup menyetor foto, uang adminitrasi kepada pimpinan media, terbitlah kartu pers, maka resmilah menyandang predikat wartawan. Benarkah demikian ???

 

Sementara pendapat yang menilai negatif, kemungkinan tidak ada pekerjaan lain selain menjadi wartawan, yang tidak memiliki persyaratan yang begitu ketat, tanpa ijazah atau ijazah paket c, tanpa seleksi, tanpa proses pendidikan, tanpa pegetahuan dan keterampilan dan ujian, dapat menerima dari berbagai kalangan seperti pedagang, pengusaha dan lainnya. Itu kan jaman dulu ya.

Dari sekian banyak pendapat tentang wartawan itu, apakah sudah dianggap cukup dan ada unsur kebenarannya????

 

Dengan beragamnya pendapat seperti itu, sah-sah saja, karena memang dapat dilihat secara nyata di permukaan ini negeri. Lantas bagaimana di era digital saat ini ???

 

Namun kenyataan lain, tidaklah demikian. Pendapat-pendapat seperti itu sama sekali tidak ada unsur kebenarannya, bagi yang benar-benar telah melakoni dunia kewartawanan melalui proses, tahapan pendidikan tingkat basic.intermediate dan advance, ujian kompetensi, keilmuan dan pengalaman.

 

Untuk mengikis pendapat sinis terhadap dunia kewartawanan, sejumlah lembaga media pers mulai merumuskan tolok ukur penerimaan seseorang menjadi wartawan melalui selektifitas yang ketat. Minimal sebelum diterima, harus melalui pendidikan jurnalistik yang dilaksanakan secara internal oleh media tersebut.

 

Yang Selanjutnya, ditindaklanjuti dengan mengikuti uji kompetensi yang dilaksanakan lembaga pers.

 

Meski begitu, hingga kini dengan menjamurnya yang namanya media ciber/media online, menjadi suatu tantangan tersendiri bagi dunia kewartawanan itu sendiri.

 

Seiring bermunculan kecaman publik terhadap kebebasan dunia pers yang tidak dibarengi dengan tanggungjawab, kurang beretika.

 

Kecaman-kecaman itu banyak ditujukan soal banyaknya bermunculan organisasi-organisasi kewartawanan dan penerbitan pers online yang dianggap asal-asalan alias abal-abal.

 

Persoalan itu muncul diakibatkan karena tidak adanya kontrol dan kriteria menyangkut siapa yang layak disebut wartawan, lembaga yang harus mengakreditasi organisasi wartawan dan mendata penerbitan pers pun, hingga kini masih menjadi perdebatan di kalangan wartawan itu sendiri.

 

Dewan Pers yang diharapkan untuk dapat memainkan peran lebih optimal untuk memperbaiki berbagai kelemahan dunia kewartawanan, tak begitu maksimal.

 

Meski Dewan Pers telah memperlihatkan kinerjanya pada soal uji kompetensi wartawan dan soal akreditasi penerbitan pers, juga masih mendapat sorotan dari kalangan pemerhati dan praktisi pers itu sendiri.

 

Wartawan Sebagai Profesi

 

Apakah wartawan itu sebuah profesi atau hanya sebagai suatu pekerjaan sambilan untuk mengisi kekosongan waktu, sebagai pekerjaan untuk gagah-gahan saja ?. Dan atau dunia kewartawanan dilakukan sebagai suatu pekerjaan yang menarik ?

 

Secara ekonomis, dunia kewartawanan telah menghantarkan setiap personel yang terlibat di dalamnya kepada kehidupan yang layak, hidup sebagai anggota masyarakat yang diperhitungkan. Penuh tantangan, karena ternyata pekerjaan ini tidak bisa dilakukan tanpa memiliki keahlian dan keterampilan khusus untuk melakukannya secara profesional.

 

Itulah sebabnya, wartawan dinilai sebagai sebuah profesi, karena profesi wartawan kini telah jauh berubah dibanding dengan ketika itu pertama kali lahir.Maka patut kewartawanan itu dijadikan sebagai sebuah profesi, panggilan hati nurani, sama sekali bukan sebagai sebuah keterpaksaan dan bukan sebagai sebuah “pelarian” karena tidak ada pekerjaan lain.

 

Perlu diingatkan, ketika wartawan dijadikan sebagai profesi, ia terikat kepada kode etik dan kriteria.

 

Kode Etik dimaksudkan sebagai norma yang mengikat pekerjaan yang ditekuninya, sedangkan kriteria dimaksudkan sebagai alat seleksi karena tidak setiap orang dapat dengan bebas memasuki lingkran suatu profesi.

 

Semisal, profesi advokat, pengacara dan dokter, serta guru. Kelimanya, adalah sebuah profesi, bukan sebagai suatu pekerjaan.

 

Karena kalau dijadikan sebagai pekerjaan, maka tentu masih ada pekerjaan lain yang bisa dilakukan sebagai pekerjaan tambahan dan sambilan.

 

Semisal, sebagai pegawai, masih bisa ada pekerjaan tambahan yang bisa dilakukan seusai mentunaikan kedinasannya di perkantorannya, Termasuk sebagai kontraktor, pedagang dan pengusaha yang hanya menjadikan “power” dalam menjalankan pekerjaannya itu.

 

Ada lima kriteria untuk mewujudkan bahwa suatu pekerjaan itu disebut suatu profresi yaitu:

(1). Harus terdapat kebebasan dalam profesi itu.
(2). Harus ada panggilan dan keterikatan dengan profesi itu
(3). Harus ada keahlian dan keterampilan khusus,
(4). Harus ada tanggungjawab yang terikat pada kode etik profesi,
(5). Harus benar-benar memiliki waktu penuh, tidak ada pekerjaan lain selain profesi sebagai wartawan.

 

Bikin Pusing dan Puyeng

 

Kenyataannya, masih kebanyakan wartawan mempunyai pekerjaan sambilan. Semisal, bekerja sebagai kontraktor, pedagang, makelar proyek, makelar kasus, makelar tanah, dan lain sebagainya.

 

Sehingga masyarakat sulit mengetahui yang mana pekerjaan utamanya, apakah kewartawanannya hanya sebagai power di balik suatu pekerjaan yang dilakoninya sehari-hari.

 

Maka tak heran, kebanyakan pejabat menjadi pusing dan puyeng melihat tingkah wartawan yang seperti itu.

 

Maka muncullah yang namanya “wartawan bodrex” yang menambah pusing dan puyeng yang bukannya menyebuhkan.

 

Istilah “wartawan muntaber/ muncul tanpa berita”, ini juga yang menambah puyeng masyarakat, mendatangi pejabat, seakan berwawancara, keluar masuk perkantoran, namun berita tak pernah muncul di medianya.

 

Tak diketahui, apakah yang bersangkutan tak paham merilis berita atau medianya yang tidak terbit-terbit. Maka bermunculanlah istilah WTS, “Wartawan Tanpa Suratkabar”.

 

Dengan istilah yang sebagian melekat pada kewartawanan itu, tentu menjadi sebuah problematika tersendiri di kalangan wartawan yang betul-betul menjadikan dunia wartawan sebagai profesinya.

 

Maka tak heran, jika di media sosial dan pemberitaan mempublikasikan tentang wartawan yang dituding melakukan teror dan pemerasan, penangkapan wartawan akibat tidak mematuhi norma hukum dan kode etiknya hingga dijebloskan ke jeruji sel penjara.

 

Masih kurangnya sebagian wartawan memiliki kemampuan dan kepekaan, dimana tidak semua informasi yang akan diberitakan lebih condong bermanfaat bagi kepentingan media itu sendiri. Tetapi lebih utama pada manfaat bagi masyarakat setelah informasi itu termuat.

 

Profesi Yang Paripurna

 

Sebagai orang yang bergelut di bidang kewartawanan, sepatutnya menjadikan kewartawanan itu sebagai profesinya, sebagai panggilan hati nurani. Dimana tiada pekerjaan lain, selain sebagai wartawan.

 

Menjadikan kewartawanan yang disandangnya, sebagai penopang pengabdian dan kehidupan dimana kegiatan kewartawanan semata-mata untuk mencari, memperoleh dan mengolahnya untuk pemberitaan di medianya. Giatnya terus belajar sebagai upaya peningkatan kompetensi dan keprofesionalisme pers.

 

Menjadikan wartawan sebagai profesi dengan kompetensi yang dijadikan sebagai norma dan kemampuan yang lazim dimiliki.

 

Jangan menjadikan kewartawanan hanya sebagai ladang lapangan pekerjaan yang mudah, murah, cepat dan gampang, mudah mendirikan perusahaan pers dan memproduksi media. Akibanya standar kewartawanan dikorbankan.

 

Masyarakat melihat profesi wartawan sebagai salah satu alat perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan.

 

Tapi di sisi lain, sering pula ditemukan satu situasi dimana masyarakat mencoba “memperkosa” profesi wartawan dengan cara-cara yang kurang menguntungkan.

 

Seorang yang menjadikan wartawan sebagai profesinya, terikat pada etika kejujuran, kebebasan dan obyektifitas.

 

Menjadikan profesi itu sebagai alat yang independen yang dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan yang baik dan bermanfaat.

 

Itulah sebabnya, kode etik suatu profesi dimaksudkan untuk membimbing para penyandangnya dalam melakukan aktifitas keprofesian di tengah-tengah masyarakat.

 

Karena itu, jika kewartawanan dijadikan sebagai sebuah profesi, maka paling tidak harus terikat pada suatu kode etik dengan sejumlah kriteria.

 

Sebab predikat profesi kewartawanan itu merupakan panggilan hidup yang dikerjakan dengan penuh pengabdian, profesional dan lebih berorientasi.

 

Sebagai kesimpulannya, secara ekonomispun profesi wartawan dapat dijadikan salah satu sumber kehidupan yang diperolehnya secara syah dan halal.

 

Dunia kewartawan terbuka untuk siapapun yang memiliki minat kuat dengannya.

 

Sebab profresi wartawanan merupakan sebuah profesi yang selalu berhubungan dengan berbagai masalah kehidupan yang harus diberitakan secara baik, benar dan beretika.

 

(Rakyatsulsel.co)

  • Bagikan