Memberantas Korupsi Pengadaan Barang dan Jasa

  • Bagikan

Pengadaan barang dan jasa (PBJ) di instansi pemerintahan menjadi perkara yang dominan dalam sejumlah kasus korupsi yang pernah ditangani oleh Komisi Pemberantasn Korupsi (KPK).

Melansir data KPK pada Maret 2021, sejak lembaga antirasuah itu berdiri tahun 2004 silam, KPK setidaknya sudah memproses 1.291 kasus korupsi. Dari angka tersebut, modus korupsi terbanyak adalah berkait dengan tindak pidana korupsi di sektor pengadaan barang dan jasa.

Pelakunya sebagian besar berlatar belakang sebagai penyelenggara negara. Hingga Maret 2021, terdapat 22 orang gubernur yang terlibat, 133 bupati/wali kota dan 281 anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Praktik korupsi pada pengadaan barang dan jasa tentu saja banyak mengakibatkan timbulnya kerugian keuangan negara. Proses pengadaan barang dan jasa biasanya disertai praktik suap-menyuap yang melibatkan pihak kontraktor atau penyedia barang dan jasa.

Sementara penerima suap biasanya melibatkan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan penyelenggara negara. Bahkan, dalam sejumlah kasus, praktik pengadaan barang dan jasa juga disertai pemerasan. Modus operandinya melalui cara-cara pemaksaan dan intimidasi. Modus lainnya yaitu melalui tindakan kecurangan, adanya benturan kepentingan dan praktik gratifikasi. Ini semua merupakan delik perkara tindak pidana korupsi yang amat rawan terjadi dalam proses pengadaan barang dan jasa.

Titik Krusial Korupsi PBJ
Pada umumnya, pelaksanaan pengadaan barang dan jasa dapat dikelompokan berdasarkan tahap kegiatannya. Tahap kegiatan pengadaan barang dan jasa dikelompokan dalam 4 (empat) tahap yaitu (Amirudin, 2012 : 026-037). Pertama, tahap persiapan. Pada tahap ini kegiatannya meliputi perencanaan pengadaan barang dan jasa, pembentukan Panitia Pengadaan PBJ, penetapan sistem pengadaan barang dan jasa, penyusunan jadwal pengadaan barang dan jasa, penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) dan penyusunan dokumen pengadaan barang jasa.

p proses pengadaan. Pada tahap ini kegiatannya, antara lain, pemilihan penyedia barang dan jasa dan penetapan penyedia barang jasa. Ketiga, tahap penyusunan kontrak dan pelaksanaan kontrak. Keempat, evaluasi dan pengawasan.
Nah, dari keempat proses dan tahapan pelaksanaan pengadaan tersebut, titik-titik krusial yang kerap kali menjadi celah munculnya praktik korupsi ada beragam bentuk dan modus.

Dalam tahap persiapan, kerap kali pola penyimpangan terjadi dalam bentuk penggelembungan (mark up) biaya pada rencana pengadaan, perencanaan yang tidak realistis dari sudut waktu pelaksanaan pengadaan, panitia bekerja secara tertutup, HPS ditutup-tutupi, harga dasar tidak standar, spesifikasi teknis mengarah pada produk tertentu, dokumen lelang tidak standar, dokumen lelang tidak lengkap, dan pengadaan sudah diarahkan untuk kepentingan produk atau penyedia tertentu.
Dalam tahap proses pengadaan, pola penyimpangan mewujud dalam bentuk, misalnya, pengumuman pemenang dilakukan secara membingungkan dan tidak lengkap, penyebaran dokumen tender yang cacat, pembatasan informasi oleh panitia pengadaan dengan maksud agar hanya kelompok tertentu saja yang memperoleh informasi, upaya menghalangi pemasukan dokumen penawaran agar peserta tertentu terlambat menyampaikan dokumen penawaran, penggantian dokumen dilakukan dengan cara menyisipkan revisi dokumen, sanggahan tidak dilakukan secara menyeluruh, dan surat penetapan pemenang sengaja ditunda.

Sementara dalam tahap penyusunan dan pelaksanaan kontrak, pola penyimpangan yang lazim ditemui berupa penandatanganan kontrak yang tidak dilengkapi dengan dokumen pendukung alias dokumen yang fiktif, penandatanganan kontrak sengaja diulur dan ditunda, penyerahan hasil pengadaan yang tidak sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan, dan pekerjaan sudah dilakukan serah terima padahal hasilnya belum selesai dilaksanakan

Pada aspek pengawasan, pola penyimpangan sering ditemukan adanya praktik kolusi antara pelaksana proyek dengan pengawas proyek, suap kepada pengawas proyek, hasil laporan pengawasan tidak sesuai dengan kondisi riil hasil pekerjaan, dan pelaporan dimanipulasi dengan cara menyajikan bukti-bukti akuntansi yang tidak benar.

Strategi Pemberantasan

Pertama, melalui cara penindakan. Strategi ini lazim dipraktikkan oleh aparat penegak hukum melalui strategi represif sesuai dengan kewenangan yang dimiliki untuk penegakan hukum.

Aspek penindakan ditempuh melalui tahapan-tahapan seperti penanganan laporan pengaduan masyarakat, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga eksekusi sebagai pelaksanaan putusan pengadilan. Strategi penindakan dimaksudkan agar menimbulkan efek jera dan takut mengulangi tindak pidana korupsi.

Kedua, melalui pencegahan. Sejatinya, sudah banyak program yang dilaksanakan oleh lembaga-lembaga penegak hukum dalam kerangka pencegahan tindak pidana korupsi. Antara lain, pendidikan antikorupsi dan upaya perbaikan sistem.

Kementerian/Lembaga juga sudah didorong melakukan langkah-langkah perbaikan internal untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih, penataan pelayanan publik melalui koordinasi dan supervisi oleh aparat penegak hukum, dan didorong untuk menegakkan transparansi para penyelenggara negara.

Ketiga, edukasi dan kampanye antikorupsi. Lembaga penegak hukum, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), telah lama menggaungkan semangat untuk membangkitkan kesadaran masyarakat agar mengenal dampak korupsi, mengajak masyarakat terlibat dalam gerakan pemberantasan korupsi, dan membangun budaya antikorupsi.

Bahkan, pribumisasi kampanye antikorupsi tidak hanya menyasar kalangan mahasiswa melainkan juga sudah dikampanyekan kepada anak-anak sekolah usia dini. Namun demikian, langkah ini perlu penetrasi yang lebih mendalam pada penanaman sikap dan mental antikorupsi.

Nah, agar lebih efektif, strategi Trisula tersebut mesti dilakukan secara bersamaan, sinergis, tidak parsial dan setengah hati. Dengan demikian, potensi penyimpangan, lebih-lebih korupsi di bidang pengadaan barang dan jasa, dapat ditutup rapat-rapat, sehingga kebocoran keuangan negara dapat diminimalisir.(*)

 

Oleh: Moh. Anshari
(Auditor Itjen Kementerian Agama RI)

  • Bagikan