Oleh
Ahmad Razak
Dosen Psikologi UNM Da’i IMMIM
Istilah mudik sering terdengar menjelang akhir bulan suci ramadhan. Mudik adalah pulang ke kampung halaman berkumpul bersama dengan istri, anak, handai tolan dan seluruh keluarga untuk melepas kerinduan karena sejak lama berpisah serta untuk saling maaf memaafkan di hari raya idul fitri.
Pada lazimnya sedari awal perantau berusaha semaksimal mungkin mempersiapkan uang dan material lainnya sebagai bekal mudik ke kampung halaman. Tradisi ini sudah dilakukan secara turun temurun dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan momentum hari raya idul fitri.
Dua tahun terakhir ini, tradisi mudik lebaran (hari raya idul fitri) terhalang oleh situasi pandemi covid 19 yang belum berakhir hingga saat ini. Larangan mudik tahun 2021 dari pemerintah berlaku pada 6-17 Mei 2021. Bahkan pemerintah juga memberlakukan aturan tambahan berupa pengetatan perjalanan yang berlaku sejak 22 April-5 Mei dan 18-24 Mei 2021.
Ketentuan ini tertuang dalam Surat Edaran Satgas Penanganan Covid-19 Nomor 13 Tahun 2021. Dalam Surar Edaran tersebut, dijelaskan bahwa setiap anggota masyarakat dilarang melakukan perjalanan antarkota/kabupaten/provinsi/negara untuk tujuan mudik.
Langkah pemerintah terhadap pelarangan mudik ini adalah bertujuan untuk mencegah penularan dimana mudik berpotensi menciptakan claster baru Covid-19.
Polri sebagai garda terdepan Kamtibmas sudah sangat siap mengawal ketat pemberlakuan pelarangan mudik dengan menjaga daerah-daerah perbatasan kota dan luar kota. Bagi masyarakat yang nekat melanggar aturan akan mendapatkan sanksi sesuai dengan keadaan yang terjadi dilapangan.
Meskipun demikian polisi akan tetap mengedepankan tindakan-tindakan persuasif dan humanis, walau bagaimanapun keinginan masyarakat dalam situasi seperti ini tentu sangat dipahami namun ada kepentingan yang lebih besar yang harus dihindari dan dicegah bersama demi untuk kemaslahatan seluruh masyarakat demikian penuturan Kabid humas polda sul sel Kombes Pol E Zulpan Sik, M.Si.
Tentu keadaan seperti ini sangat menyedihkan bagi masyarakat pemudik karena tidak dapat berkumpul bersama keluarga dan sanak familinya. Meskipun demikian seyogyanya kondisi ini tidak perlu terlalu dirisaukan karena semua akan berakhir dan mempersiapkan diri pada situasi new normal.
Peraturan pemerintah tidak perlu disalah artikan sebagai suatu bentuk penindasan dan kesewenang-wenangan terhadap masyarakatnya. Semua pihak dan masyarakat perlu berpikir positif dan membangun akal sehat agar lebih arif dan bijaksana dalam menyikapi kondisi saat ini.
Bulan suci ramadhan yang dilakoni saat ini dengan ibadah puasa, dzikir, tadarus al-Qur’an dan nasihat-nasihat agama adalah untuk mengasah spiritualitas dan mentransformasi diri menjadi manusia TAQWA. Bulan suci ramadhan adalah moment perjuangan (mujahadah) untuk membangun kwalitas jiwa dengan melatih mengendalikan ego hawa nafsu, membangun mind set untuk berpikir positif, serta membersihkan diri dari segala penyakit-penyakit hati.
Jiwa yang berkwalitas dapat menuntun diri pribadi pada dimensi kebermaknaan (hikmah) bahwa dibalik dari setiap peristiwa yang dialami pasti ada hikmah di dalamnya seperti yang tertuang dalam Q.S. Al-baqarah: 216 yang artinya: “boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.
Mudik yang sesungguhnya bukanlah ke kampung halaman dimana kita dilahirkan. Tetapi mudik sesungghunya adalah ke kampung akhirat dan tentu saja hunian terbaik yang dicita-citakan adalah sorga (jannah) sebagai tempat yang damai, bahagia dan penuh kasih sayang di dalamnya. Dunia yang ditempati saat ini hanyalah persinggahan sementara.
Semua yang ada di dunia ini sifatnya relatif dan tidak ada yang abadi suatu saat pasti akan binasa. Pertanyaannya kemudian adalah sudah siapkah kita mudik ke kampung halaman sesungguhnya (akhirat)? Apakah kita sudah mempersiapkan bekal terbaik untuk dibawa mudik ke kampung halaman (akhirat)? Dua pertanyaan yang penting untuk disikapi dengan kesadaran batiniah kita (spiritualitas ketauhidan) agar tidak terpedaya dengan pesona dunia fatamorgana.
Bekal yang harus dipersiapkan saat ini bukanlah material seperti uang, rumah mewah, mobil mewah dan harta kekayaan lainnya, tetapi bekal terbaik adalah TAQWA sesuai dengan Q.S. Al-baqarah: 197 yang artinya: “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa”.
Sejatinya status, jabatan, harta kekayaan dan kesempatan hidup yang dimiliki semestinya dimanfaatkan untuk bernilai bekal dan investasi akhirat sebagai modal terbaik yang akan dibawa pulang suatu ketika jika waktunya sudah sampai. Innaa lillahi wa Innaa ilaihi rojiun (sesungguhnya kita milik Allah dan akan kembali kepada Allah).
Memacu diri dalam berfastabikul khaerat tentu menjadi jalan terbaik untuk mengumpulkan bekal sebanyak-banyaknya yang nantinya akan dibawa mudik ke kampung halaman abadi (akhirat).