Oleh
Ahmad Razak
Dosen Psikologi UNM, Dai IMMIM
dan Ketua Umum API Sul-sel
Realitas kehidupan sosial politik bangsa Indonesia kini mengalami tantangan yang sangat berat. Indonesia diperhadapkan pada tantangan eksternal dan tantangan internal. Tantangan eksternalnya adalah bahwa arus globalisasi semakin tidak terbendung dimana kompetisi antar bangsa semakin terasa dalam berbagai bidang. Tidak dapat dipungkiri bahwa bidang ideologi, politik, ekonomi, pendidikan dan sosial budaya menjadi sasaran strategis dalam mengukuhkan pengaruh dan otoritas kekuasaan bangsa-bangsa lain.
Kemajuan sains dan teknologi, internet, media sosial online, dan media elektronik lainnya menjadi sarana yang sangat strategis dalam kompetisi. Beberapa negara adidaya seperti Amerika Serikat, China, dan Jepang semakin lihai menunjukkan otoritasnya dalam menguasai dunia globalisasi.
Sementara tantangan internal bangsa Indonesia saat ini semakin kompleks. Perjuangan melawan copid 19 belum berakhir, bahkan akhir-akhir ini korban dari virus tersebut kembali menunjukkan peningkatan yang mengkhawatirkan di beberapa provinsi dan kota-kota besar di Indonesia.
Tantangan lain adalah kasus korupsi yang masih saja marak terjadi, kelompok papua barat dan Aceh ingin merdeka sementara itu pula sebahagian kelompok Islam seperti FPI sangat vocal melakukan protes dan aksi “amar ma’ruf nahi mungkar”.
Konflik dengan aparat akhirnya terjadi dan mengakibatkan korban dikalangan masyarakat sendiri. Ini semua menjadi pemicu yang mengarah kepada kerusuhan, perpecahan disharmonisasi dan kehancuran bangsa.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, ia terlahir dari tetesan darah dan pengorbanan jiwa para pahlawan kusuma bangsa yang diwariskan kepada kita semua. Para pendahulu sangat menyadari bahwa kita memang beragam suku, budaya, dan agama namun senasib dan sependeritaan dibawah penjajahan kolonial selama 350 tahun. Atas dasar itulah para pendahulu bersatu dari Sabang sampai Merauke membangun satu ikrar satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa yaitu Indonesia.
Kini, kita memasuki era milenial yang sarat dengan tantangan untuk wewujudkan kedamaian dan kemakmuran bangsa seperti yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kedamaian dan kemakmuran bangsa adalah tanggung jawab bersama seluruh elemen bangsa, sehingga semestinya bersatu dan saling menguatkan satu sama lain untuk menggapai cita-cita tersebut.
Oleh karena itu sangat dituntut untuk menjalankan fungsi dan peran masing-masing secara professional dan penuh rasa tanggung jawab. Setiap elemen bangsa memiliki arti yang besar dalam mewujudkan kedamaian dan kemakmuran bangsa. Kita boleh berbeda namun tetap satu dalam sebuah ikatan yaitu “Bhineka tunggal ika” berbeda-beda tetapi satu.
Perumpamaan kebhinekaan tersebut dapat digambarkan dalam “filosofi lima jari”. Pertama ibu jari sebagai simbol pemimpin. Ibu jari sebagai penghulu dari semua jari, dengan ukuran yang paling besar dimana selalu menjadi simbol kebaikan dan kekuatan. Pemimpin hendaknya menjadi contoh yang baik dan menjadi pengayom bagi masyarakat dimanapun dia berada. Kedua jari telunjuk.
Jari ini melambangkan pemerintah. Jari telunjuk sebagai penunjuk, pemberi isyarat dan instruksi. Pemerintah dalam hal ini hendaknya bisa menjadi sosok yang bisa dipatuhi, memberikan instruksi yang jelas dan bisa menjadi landasan masyarakat dalam beraktifitas.
Pemerintah seyogyanya menunjukkan jalan yang benar dan jalan yang lurus. Ketiga jari tengah, jari ini berada tepat ditengah-tengah yang melambangkan para alim ulama/ para cerdik pandai. Para alim ulama/ cendikiawan adalah sebagai penengah dan meredam segala bentuk keresehan di masyarakat. Mereka hadir sebagai penyejuk hati yang bisa menenangkan gejolak permusuhan dan pertikaian.
Mereka hadir untuk menjadi pewaris nabi dalam mengembang risalah kerahmatan bagi kita semua. Keempat jari manis, jari ini disimbolkan sebagai generasi muda, generasi yang diharapkan menjadi tulang punggung perjuangan bangsa, olehnya itu harus dididik dengan bijaksana. Terakhir, jari kelingking, jari yang paling kecil dan paling pinggir posisinya melambangkan rakyat kecil. Terkadang kehadiran mereka disepelekan, bahkan tidak dianggap, tetapi mereka adalah pelengkap dimana mereka doa-doa menembus langit dan begitu cepat diijabah.
Filosofi kelima jari kita telah mengajarkan betapa perbedaan peran tidak menyebabkan untuk bercerai berai tetapi kelima jari itu dapat saling bekerjasama untuk menyelesaikan sebuah beban yang dihadapinya. Para pemimpin, para alim ulama ulama, aparat TNI Polri, pengusaha dan seluruh masyarakat seyogyanya seperti jari jemari tadi meskipun memiliki bentuk dan fungsi yang berbeda tetapi bisa bersatu membangun kekuatan bersama untuk membawa bangsa dan negara Indonesia keluar dari keterpurukan.
Perjuangan kolegial diabad globalisiasi sangat dibutuhkan, olehnya itu hentikan saling menyalahkan, hentikan jebakan “batman”, hentikan provokasi, hentikan anarkis, hentikan kedzaliman, hentikan pembodohan, hentikan diskriminasi. Kedamaian akan tercipta jika kita berkoordinasi dan bersinergi, bukan berlomba menonjolkan siapa yang paling benar dan paling hebat. Kita ibarat satu tangan yang utuh, apabila satu jari terluka, maka jari lain akan ikut merasakan sakitnya.
Permusuhan dan perselisihan sesama anak bangsa tidak boleh lagi ada di tanah air ini, sebab kita yang menang hanya akan menjadi arang dan mereka yang kalah hanya akan menjadi abu. Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh.